Senin, 27 Agustus 2007

KEBENARAN ITU ADA, TIDAK RELATIF!!!

Oleh: Nurani Soyomukti

"Bahkan samudera darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran"

(Maxim Gorky, Sastrawan Rusia).



Percayakah kamu bahwa kebenaran itu sifatnya relatif?

Pernyataan-pernyataan bodoh banyak kita jumpai dari mulut orang: “Orang kaya itu lho, mereka belum tentu lebih bahagia daripada orang miskin. Kadang orang miskin dan sederhana lebih nyaman dan tentram dari pada orang kaya”. Kelanjutan dari ungkapan semacam itu biasanya tidak jarang dilanjutkan dengan pernyataan mereka bahkan kalangan yang berasal dari kalangan terdidik. Dikatakan, “Oh, ngapain sih kamu capek-capek berteriak-teriak, turun ke jalan, berjuang melawan ketidakadilan... Lha wong mereka yang kamu anggap ditindas saja tidak ada masalah apa-apa kok. Mereka lho, meskipun miskin, juga merasa tenang dan bahagia”.

Pernyataan terakhir ini mirip dengan apa yang pernah aku terima dari seorang teman kuliah. Waktu itu saya sempat tergoda dan bahkan sempat meragukan posisi dan peran yang aku jalani. Untungnya, karena aku menyukai pencarian-pencarian jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang yang kujumpai, akupun menemukan jawabannya.

Pernyataan yang berakibat menisbikan apa yang kupikirkan dan kulakukan selama ini itu belakangan dapat kupahami sebagai sebuah kebohongan, kebohongan yang memang berakar pada kepentingan material tertentu. Kalau aku terpengaruh pernyataan itu, berarti aku menyalahi hukum gerak sejarah (law of motion). Setiap ungkapan, ide, gagasan, bahkan lontaran gampangan yang keluar dari mulut orang tidak mungkin dipahami tanpa mengkaitkannya dengan posisi dan kondisi dialektis material kehidupan. Kehidupan ini konkrit, dapat dirasakan, dan bukannya “sandiwara”—seperti kata Ahmad Albar bahwa “dunia ini panggung sandiwara”. (Toh kalau memang sandiwara, tetap ada interaksi dari kekuatan-kekuatan konkrit yang mempengaruhi keadaan dan kenyataan).

Secara material, orang miskin tetaplah orang miskin meskipun ia merasa nyaman dengan kemiskinannya. Orang kaya tetaplah orang kaya meskipun ia tetap merasa tak bahagia (apalagi kalau kebahagiaan itu disebabkan karena merasa masih kekurangan dan masih ingin mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, yang celakanya dengan cara membunuh prinsip kebersamaan dan menyengsarakan pihak lain).

Miskin dan kaya adalah suatu keadaan atau kualitas kehidupan yang dapat diukur secara material. Dan keduanya berbeda, sehingga kita juga dapat mengukur bagaimana terjadi ketimpangan. Ketimpangan yang nyata, saat sedikit orang kaya yang berkelimpahan harta, masih banyak orang yang untuk makan saja kesulitan. Dan siapa bilang rakyat di negeri ini tidak takut pada kemiskinan?

Andre Gorz, seorang pengamat sosial, mengatakan:

“Mengatakan bahwa kontradiksi mungkin tidak atau tak akan dirasakan sangat berbeda dengan mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi, maka pastilah kontradiksi itu merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman massa. Yang menjadi problem kemudian adalah bagaimana membuat yang tak terasa itu dipahami”.

(Andre Gorz. Sosialisme dan Revolusi. Yogyakarta: Resist Book, 2005, hal. 16)

Jadi, aku heran ketika pernyataan bahwa orang miskin juga bahagia itu seringkali terdengar dari mulut banyak orang. Jangan-jangan, hal itu karena masyarakat kita yang munafik dan palsu. Antara yang dirasakan dan diungkapkan berbeda. Antara yang dihadapi dalam situasi kehidupan material dipahami secara tidak sesuai dengan situasi yang sebenarnya. Jelas-jelas merasa menderita karena makan saja sulit, sekolah saja tidak mampu membayar, mau berobat pada saat sakit juga tidak mampu... tetapi mereka masih merasa nyaman dan (mengaku merasa atau dianggap) bahagia.

Jangan-jangan ada hal lain yang membuat mereka begitu palsunya, jangan-jangan ada hiburan lain sehingga mereka berbahagia. Jangan-jangan ada sandaran psikologis lainnya yang membuat mereka “aman” dan “nyaman” pada saat syarat-syarat material kehidupan sehari-harinya tdak layak untuk perkembangan materialnya. Lalu itu merupakan lakon yang sangat biasa... Ternyata, masyarakat palsu dan munafik Indonesia yang masih terbelenggu dengan pola pikir feodalistik, masih terbelakang dalam berpikir dan bertindak.

***

"Kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang", begitu kata seorang kawanku. Aku tak habis pikir, bagaimana pada saat aku masih percaya pada prinsip hidup yang kuanggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang yang percaya bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah--bahwa kebenaran itu relatif.

Aku tak tahu dari mana ia menghubungkan antara suatu hal dengan hal lainnya. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan (tentunya bagi banyak pihak, bukan bagi segelintir orang).


"Tidak ada kebenaran, semuanya palsu! TAEK lah!", teriak seorang kawan saya yang frustasi karena keinginannya gagal dan ia merasa marah karena apa yang sangat diinginkannya tak dapat terpenuhi. Dan aku bisa memaklumi, ketidakpercayaan orang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang diinginkannya terpenuhi dalam realitas. KEBENARAN ITU PAHIT, punya makna praktis bahwa MENGETAHUI SECARA BENAR APA YANG KITA INGINKAN JARANG YANG TERPENUHI DALAM REALITAS lebih menyakitkan lagi, lebih pahit lagi.


Tapi bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika 'omongan', penilaian, ungkapan, evaluasi, pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada. Orang bisa bisa berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Bali dan Jakarta. Si A akan mengatakan: "Jauh, dong!"; Si B dapat mengatakan: "Ah, nggak jauh amat. Satu kedipan aja sampai. Coba, you waktu berangkat naik mobil tidur, terus kamu sudah bangun pagi, kamu sudah sampai Jakarta". Keduanya mempunyai pengalaman yang berbeda.


Mungkin Si A adalah orang miskin, sehingga ia terbiasa naik kereta ekonomi. Dari Bali ia harus menyeberang dulu ke Banyuwangi, lalu harus berganti kereta di Surabaya. Sehingga perjalanan yang ditempuh untuk bepergian dari Bali ke Jakarta terasa lambat, lama, dan terasa jauh. Sementara si B adalah orang kaya yang naik mobil pribadi, sopir pribadi, sehingga ia bisa enak tidur di perjalanan karena mobil bagus dan berharga mahal lebih terasa nyaman; maka, jarak yang jauhpun dapat ditempuh secara cepat. (Dapat kita bayangkan jika, yang menempuh jarak antara Bali ke Jakarta dengan naik pesawat pribadi atau Helikopter, seperti konglomerat kaya, Presiden, atau Menteri... tentu jaraknya terasa dekat, waktu tempuh cepat).


Hal lain yang harus dicatat bahwa, masyarakat kita selalu tidak fokus dalam menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Sehingga, penilaian terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak konkrit pada suatu gejala yang ingin diketahui. Ketika ditanya: "Seberapa jauh sih dari Bali ke Jakarta?", ia seringkali gak menjawab sesuai pertanyaan. Kebanyakan orang akan menjawab pertanyaan itu: "Paling sehari, kamu berangkat jam 4 sore, sampai sana siang keesokan harinya".


Jarakpun ditafsirkan sesuai dengan waktu. Pertanyaan soal jarak dijawab dengan pertanyaan soal waktu. Pada hal, kalau dalam masyarakat telah terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkrit, antara siapa saja akan sama. Kalau jarak antara Yogyakarta-Jakarta ditanyakan kepada siapapun, pasti kalau dijawab berdasarkan jarak. Semua orang akan menjawab sama kalau mereka sama-sama tahu jarak antara kedua kota. Tetapi kalau kedua orang tidak tahu, biasanya akan dialihkan dengan jawaban lain, ada yang menggunakan patokan waktu, dan ada yang menggunakan pendekatan dari kendaraan apa yang dipakai.


Dari contoh yang saya ambil itu, nampak jelas bahwa untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang konkrit, misalnya JARAK (yang secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi KEBENARAN SEJATI tentang JARAK itu sendiri SECARA OBJEKTIF (ada, material, dan bisa diukur) tetaplah tidak relatif.


Kebenaran itu objektif, ada, riil, dapat diukur dengan cara yang benar, dan bukannya relatif.

Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik, sebuah FALLACY, sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah.


Cara berpikir relatifistik ini benar-benar membodohi dan (kalau mau dirunut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri, karena hidupnya telah enak yang menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutup-nutupi realitas kebenaran. Mereka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan menginjak-injak orang lain.


Bayangkan, jika di jaman yang konon sudah modern ini, masih ada orang yang beranggapan bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan bukan oleh suatu hal yang bersifat material atau konkrit, misalnya karena adanya sejumlah perusahaan-perusahaan negara yang dijual kepada asing, berapa kekayaan alam yang dirampas penjajah, berapa jumlah subsidi rakyat yang dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan untuk pendidikan dan berapa uang yang banyak digunakan untuk teknologi militer serta uang yang dikorup, dan ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (quantitative meassures) yang nyata.

Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang karenanya dapat dihitung, dipahami, dan dimengerti.


Tapi apa yang terjadi pada saat masyarakat kita menderita CACAT PENGETAHUAN (dan memang sengaja dibodohkan--terbukti akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?


Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (kemiskinan dan dan penindasan) bukan karena sebab-sebab konkrit, tetapi karena sebab lain, takdir Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.***

BELAJAR NASIONALISME DARI NAGABONAR

Oleh: Nurani Soyomukti


Film “Nagabonar (Jadi) 2” barangkali adalah satu-satunya film tahun ini yang mampu menyorot gagasan nasionalisme di era kini. Tokoh Bonaga (Tora Sudiro), anak Nagabonar (Dedi Mizwar), digambarkan sebagai pemuda yang mengalami hidupnya di masa pembangunan (modernisasi kapitalis), di mana pragmatisme pembangunan diindoktrinasikan melalui sekolah-sekolah di era Orde Baru. Bonaga yang mempunyai ijazah pendidikan hingga tingkat S-2, ditampilkan dalam film ini sebagai pemuda yang tidak kritis dan malah mendukung praktik ideologi yang kapitalis. Ijazah formal dan gelar itu menjadi lebih penting, daripada makna manusia terdidik itu sendiri.

Karenanya sosok Bonaga berbeda dengan karakter ayahnya Nagabonar. Yang menjadikan Nagabonar berbeda adalah, meskipun Nagabonar tidak pernah “makan sekolahan”, pergulatan kehidupan di masa pra-kemerdekaan dalam situasi kemiskinan merupakan situasi yang membentuk karakter dan jiwanya yang kuat. Bonaga, sebagaimana pemuda Indonesia yang mapan pada umumnya, mewakili karakterisasi generasi muda bangsa yang belum selesai, pemuda yang rapuh dan tak mampu menjadi satu kekuatan penyangga bangsa karena masih berorientasi pada pembangunan diri secara materi.

Dalam perspektif Nagabonar, pencarian pada suatu hal yang bersifat material telah membuat orang lupa pada makna dan hakekat kemerdekaan. Dalam suatu adegan yang sangat simbolis dan menggetarkan, Nagabonar menangisi patung Soedirman, sebagai sosok yang ia idealkan di masa hidupnya, tetapi kini patung itu harus dibuat menghormat pada kendaraan-kendaraan yang lewat di bawahnya, jalanan utama Jakarta, yang sibuk, dan menyiratkan ketidakpedulian.

Naga Bonar pun berbicara pada Pak Dirman: "Jenderaaaaaaal......siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu itu memakai roda empat, Jenderal? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati, Jenderal. Turunkan tanganmu! Jenderaaaallll.....turunkan tanganmu! Bukan kau yang harus menghormati mereka! Tapi bangsa ini yang harus menghormatimu!" Naga Bonar mengejek nasionalisme bangsa kita!”

Bagi kebanyakan kaum muda sekarang, nasionalisme sebagai perasaan berkebangsaan dan kecintaan tanah air terjadi di jaman dulu (jadul). Nasionalisme adalah milik sejarah masa lalu, sekarang nasionalisme telah mati karena globalisasi pasar telah meninabobokkan romantisme cengeng kaum muda. Kalau jaman dulu, kaum muda susah karena bangsanya diinjak-injak penjajahan, sekarang kaum muda susah karena tidak mendapatkan “gebetan” atau “putus cinta”.

Di era pasar bebas seperti sekarang ini, kebanyakan kaum muda adalah kalangan yang paling mengalami krisis nasionalisme. Jika kaum tua masih memiliki rasa nasionalisme yang kuat, karena sebagian besar dari mereka lahir dalam sejarah di mana pasar belum diberi kewenangan yang kelewat luar biasa seperti sekarang ini. Meskipun terbentuk oleh mental yang dilahirkan pada masa Orde Baru kebanyakan dari generasi itu masih merasakan bagaimana negara masih memiliki kekuatan untuk mengatur masyarakat.

Butuh Habitus Baru

Kebuntuan peran politik kaum muda di era sekarang ini nampaknya membutuhkan terobosan di tingkatan ideologis dan kultur di kalangan kaum muda. Perlu dikembangkan habitus baru di kalangan kaum muda untuk membuat posisi dan perannya signifikan dalam masyarakat sekarang ini. Menurut Pierre Bordieu (1994: 9), habitus merupakan hasil dari ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari, etos misalnya), lalu diterjemahkan menjadi kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus juga berfungsi sebagai prinsip penggerak dan mengatur praktek-praktek hidup dan merepresentasi masyarakat.

Nilai-nilai perubahan yang didasarkan pada daya tafsir kaum muda terhadap realitas harus melahirkan kesadaran dan praksis, mendatangkan habitus baru yang benar-benar bisa diarahkan pada tumbuhnya solidaritas, pentingnya tindakan kolektif, pewujudan kesejahteraan bersama, dan kepekaan akan keadilan. Perubahan habitus lama menjadi yang baru mengandaikan perubahan budaya secara mendasar. Perubahan itu menyentuh juga modalitas dalam interaksi sosial yang dominan, yaitu kerangka penafsiran, fasilitas (modalitas interaksi kekuasaan), dan norma (Giddens, 1993: 129). Mengapa kerangka penafsiran harus berubah? Karena habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami atau menilai realitas. Ia sekaligus menghasilkan praktek-praktek sosial. Maka, ia menjadi dasar kepribadian seseorang yang pembentukannya sulit ditentukan ujung-pangkalnya.

Di satu sisi, terbentuknya sangat memperhitungkan hasil dan keteraturan perilaku; di sisi lain, prakteknya mengandalkan pada improvisasi, bukan hanya pada kepatuhan terhadap aturan-aturan. Improvisasi mengandaikan kelenturan penafsiran. Kelenturan penafsiran menentukan kualitas pemaknaan. Pertaruhan dalam pemaknaan ialah gaya hidup (keseluruhan selera, kepercayaan, praktik sistematik, opini politik, dan keyakinan moral).

Kemunduran peran kaum muda bisa kita rasakan di lingkungan kampus. Seiring dengan proses privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan tinggi, budaya mahasiswa tanpa terasa telah jauh sekali meninggalkan hakekatnya sebagai kalangan intelektual dan akademis. Berdasar desainer para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital. Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri bagi para penumpuk modal. Peran negara diharapkan juga sesuai dengan kepentingan mereka.***

BUKU DI MATA PARA PRESIDEN

Buku di Mata Para Presiden

Oleh: Nurani Soyomukti,

Negeri ini nampaknya tak lagi beruntung karena pemimpin (presidennya) kurang menghargai imajinasi dan ekspresi literer rakyatnya. Bahkan kita juga miskin pemimpin yang menyukai karya sastra, peradaban buku, habitus baca-tulis, dan pembudayaan bangsa melalui budaya membaca dan menulis. Saya tidak tahu bagaimana pengaruh sastra terhadap presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan atau wakilnya Jusuf Kalla (JK).

Sungguh menyedihkan membaca berita tentang seorang kepala pemerintahan yang anti terhadap peradaban buku. Beberapa waktu lalu, Nurmahmudi Ismail, walikota depok, berada di paling depan aksi pembakaran buku-buku sejarah. Secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan Nuramahmudi bersama Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).

Tetapi mungkin kita masih (pernah) punya Gus Dur, seorang yang, menurut saya, sangat menyokong imajinasi manusia-manusia Indonesia dengan menghargai kebebasan berpikir, mendukung budaya baca-tulis. Bahkan dalam hal ini pribadi Gus Dur sangat menarik (unik) karena ia sendiri juga penikmat dan penulis sastra, pengarang buku, dan juga pandai mengulas karya sastra dan karya intelektual. Tak heran jika hal itu juga berpengaruh pada wataknya yang pluralis, mencintai kedaulatan bangsa, progresif, dan tidak hitam-putih dalam melihat persoalan.

Kita, selain Gus Dur, juga pernah mempunyai Soekarno, presiden pertama Republik yang banyak membaca karya-karya pemikir dan sastrawan besar. Soekarno juga seorang perenung, pengarang dan pencipta, menulis dan melukis. Tak heran jika kemudian ia menjadi tokoh besar yang dikenang oleh rakyat dan masyarakat dunia. Jatuhnya beliau juga sekaligus menandai matinya peradaban literer bangsa ini karena pemberangusan terhadap karya secara intensif dikonsolidasikan melalui gerakan militeristik yang memperalat negara di era Orde Baru.

Buku dan Presiden Radikal

Karena kecintaan akan buku dan sastra itu, Chavez memperbanyak dicetaknya karya-karya sastrawan Amerika Latin, ia membagi-bagikan secara gratis satu juta naskah buku sastra (novel) Don Quixote yang dirayakan ulang tahunnya yang ke-400 di seluruh dunia pada tahun 2005. Don Quixote de la Mancha (bahasa Sepanyol: Don Quijote) adalah sebuah novel karya Miguel de Cervantes Saavedra yang dianggap secara meluas sebagai karya bahasa Spanyol yang terbaik di dunia dan kini merupakan lambang karya kesusasteraan Spanyol. Diterbitkan pada tahun 1605, ia adalah salah satu novel paling awal dalam bahasa Eropa modern. Chavez membagikan sejuta naskah karya sastra tersebut dalam rangka merayakan kemenangan program melek huruf yang keberhasilannya dipuji oleh UNICEF.

Chavez nampaknya mirip Bung Karno dalam hal tertentu. Keduanya adalah presiden yang membangun bangsanya dengan prinsip kedaulatan, anti penjajahan global, anti-imperialisme. Terpilih dua kali (pemilu 1998 dan 2006) dengan suara yang meningkat dan dukungan semakin kuat dari rakyatnya, Hugo Chavez presiden Venezuela memberikan demokrasi dan kesejahteraan berbasiskan pada demokrasi partisipatoris: bukan demokrasi komunis-diktator yang memasung kebebasan berekspresi, juga bukan demkrasi liberal-borjuis yang mengagung-agungkan kebebasan tetapi hanya kosong dengan formalitas dan proseduralitas demokrasi pemilu lima tahun sekali.

Demokrasi partisipatoris (participatory democracy) telah membuat rakyat berpartisipasi aktif terlibat dalam pengambilan kebijakan, mengontrol dan bahkan mengeksekusi sendiri program-program kerakyatan. Chavez dan rakyatnya mengakses kesehatan dan pendiikan gratis. Chavez berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Mission Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis (Soyomukti, 2007: 134).

Komunitas-komunitas baca-tulis dijumpai di berbagai tempat, karya Gabrielle Garcia Marquez, Pablo Neruda, Giconda Belli, Marti, dan para sastrawan Amerika Latin dapat diakses oleh rakyat. Untuk melawan media-media kaum oposisi (borjuis) yang menguasai 90% media, pendukung Chavez membangun dan memperluas media komunitas sehingga peradaban baca-tulis dan kesusatraan dapat meluas ke masyarakat banyak. Banyak yang keheranan, ketika semua media (TV, radio, surat kabar) terus saja menyerang Chavez, tokoh ini bukannya kekurangan legitimasi tetapi malah semakin didukung rakyat.

Kecintaan Chavez pada buku dan minatnya untuk mendidik rakyatnya dengan buku-buku dan karya sastra tidak berhenti hingga ia menjadi orang nomer satu di negeri yang kaya minyak itu. Setiap kali ia mengutip puisi-puisi Pablo Neruda (penyair asal Chili) dan dia tetap keranjingan dengan kata-kata indah. Dalam setiap pidato dan tulisannya kata-kata pilihan selalu dikutipnya. Tak mengherankan, karena obsesinya pada kebudayaan literer ini, ia menutup ijin sebuah stasiun TV swasta (RCTV). TV yang bukan hanya menjadi alat propaganda menyerang dirinya dan terlibat dalam kudeta April 2002 untuk menggagalkan program-program kerakyatan, tetapi juga TV yang dikenal paling banyak menayangkan telenovela (opera sabun) dan dekadensi gaya hidup borjuis yang tidak mendidik rakyat, yang membuat rakyat hanya terilusi dengan gaya hidup yang tak bisa diraihnya, iming-iming konglomerat negeri itu, segelintir orang yang pernah (dan masih akan) memusuhi dirinya.***


KENAPA HARUS TAKUT PADA MATAHARI?

Kenapa harus takut pada matahari,
kepalkan tangan halau segala panasnya...

Kenapa harus takut pada malam hari,
Nyalakan api