"Bahkan samudera darahpun tak dapat menenggelamkan kebenaran"
(Maxim Gorky, Sastrawan Rusia).
Percayakah kamu bahwa kebenaran itu sifatnya relatif?
Pernyataan-pernyataan bodoh banyak kita jumpai dari mulut orang: “Orang kaya itu lho, mereka belum tentu lebih bahagia daripada orang miskin. Kadang orang miskin dan sederhana lebih nyaman dan tentram dari pada orang kaya”. Kelanjutan dari ungkapan semacam itu biasanya tidak jarang dilanjutkan dengan pernyataan mereka bahkan kalangan yang berasal dari kalangan terdidik. Dikatakan, “Oh, ngapain sih kamu capek-capek berteriak-teriak, turun ke jalan, berjuang melawan ketidakadilan... Lha wong mereka yang kamu anggap ditindas saja tidak ada masalah apa-apa kok. Mereka lho, meskipun miskin, juga merasa tenang dan bahagia”.
Pernyataan terakhir ini mirip dengan apa yang pernah aku terima dari seorang teman kuliah. Waktu itu saya sempat tergoda dan bahkan sempat meragukan posisi dan peran yang aku jalani. Untungnya, karena aku menyukai pencarian-pencarian jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang yang kujumpai, akupun menemukan jawabannya.
Pernyataan yang berakibat menisbikan apa yang kupikirkan dan kulakukan selama ini itu belakangan dapat kupahami sebagai sebuah kebohongan, kebohongan yang memang berakar pada kepentingan material tertentu. Kalau aku terpengaruh pernyataan itu, berarti aku menyalahi hukum gerak sejarah (law of motion). Setiap ungkapan, ide, gagasan, bahkan lontaran gampangan yang keluar dari mulut orang tidak mungkin dipahami tanpa mengkaitkannya dengan posisi dan kondisi dialektis material kehidupan. Kehidupan ini konkrit, dapat dirasakan, dan bukannya “sandiwara”—seperti kata Ahmad Albar bahwa “dunia ini panggung sandiwara”. (Toh kalau memang sandiwara, tetap ada interaksi dari kekuatan-kekuatan konkrit yang mempengaruhi keadaan dan kenyataan).
Secara material, orang miskin tetaplah orang miskin meskipun ia merasa nyaman dengan kemiskinannya. Orang kaya tetaplah orang kaya meskipun ia tetap merasa tak bahagia (apalagi kalau kebahagiaan itu disebabkan karena merasa masih kekurangan dan masih ingin mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, yang celakanya dengan cara membunuh prinsip kebersamaan dan menyengsarakan pihak lain).
Miskin dan kaya adalah suatu keadaan atau kualitas kehidupan yang dapat diukur secara material. Dan keduanya berbeda, sehingga kita juga dapat mengukur bagaimana terjadi ketimpangan. Ketimpangan yang nyata, saat sedikit orang kaya yang berkelimpahan harta, masih banyak orang yang untuk makan saja kesulitan. Dan siapa bilang rakyat di negeri ini tidak takut pada kemiskinan?
Andre Gorz, seorang pengamat sosial, mengatakan:
“Mengatakan bahwa kontradiksi mungkin tidak atau tak akan dirasakan sangat berbeda dengan mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi, maka pastilah kontradiksi itu merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman massa. Yang menjadi problem kemudian adalah bagaimana membuat yang tak terasa itu dipahami”.
(Andre Gorz. Sosialisme dan Revolusi. Yogyakarta: Resist Book, 2005, hal. 16)
Jadi, aku heran ketika pernyataan bahwa orang miskin juga bahagia itu seringkali terdengar dari mulut banyak orang. Jangan-jangan, hal itu karena masyarakat kita yang munafik dan palsu. Antara yang dirasakan dan diungkapkan berbeda. Antara yang dihadapi dalam situasi kehidupan material dipahami secara tidak sesuai dengan situasi yang sebenarnya. Jelas-jelas merasa menderita karena makan saja sulit, sekolah saja tidak mampu membayar, mau berobat pada saat sakit juga tidak mampu... tetapi mereka masih merasa nyaman dan (mengaku merasa atau dianggap) bahagia.
Jangan-jangan ada hal lain yang membuat mereka begitu palsunya, jangan-jangan ada hiburan lain sehingga mereka berbahagia. Jangan-jangan ada sandaran psikologis lainnya yang membuat mereka “aman” dan “nyaman” pada saat syarat-syarat material kehidupan sehari-harinya tdak layak untuk perkembangan materialnya. Lalu itu merupakan lakon yang sangat biasa... Ternyata, masyarakat palsu dan munafik Indonesia yang masih terbelenggu dengan pola pikir feodalistik, masih terbelakang dalam berpikir dan bertindak.
***
"Kebenaran itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang", begitu kata seorang kawanku. Aku tak habis pikir, bagaimana pada saat aku masih percaya pada prinsip hidup yang kuanggap sebagai kebenaran, juga pada saat masih banyak orang yang percaya bahwa kebenaran itu ada, dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah--bahwa kebenaran itu relatif.
Aku tak tahu dari mana ia menghubungkan antara suatu hal dengan hal lainnya. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang bermanfaat dan mana yang tidak, mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan (tentunya bagi banyak pihak, bukan bagi segelintir orang).
"Tidak ada kebenaran, semuanya palsu! TAEK lah!", teriak seorang kawan saya yang frustasi karena keinginannya gagal dan ia merasa marah karena apa yang sangat diinginkannya tak dapat terpenuhi. Dan aku bisa memaklumi, ketidakpercayaan orang pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah menemui fakta bahwa apa yang diinginkannya terpenuhi dalam realitas. KEBENARAN ITU PAHIT, punya makna praktis bahwa MENGETAHUI SECARA BENAR APA YANG KITA INGINKAN JARANG YANG TERPENUHI DALAM REALITAS lebih menyakitkan lagi, lebih pahit lagi.
Tapi bukan berarti bahwa kebenaran tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika 'omongan', penilaian, ungkapan, evaluasi, pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau realitas yang secara material ada. Orang bisa bisa berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Bali dan
Mungkin Si A adalah orang miskin, sehingga ia terbiasa naik kereta ekonomi. Dari Bali ia harus menyeberang dulu ke Banyuwangi, lalu harus berganti kereta di
Hal lain yang harus dicatat bahwa, masyarakat kita selalu tidak fokus dalam menceritakan segala sesuatu, bahkan menjawab pertanyaan. Sehingga, penilaian terhadap suatu hal biasanya berbelit-belit, abstrak, dan tidak konkrit pada suatu gejala yang ingin diketahui. Ketika ditanya: "Seberapa jauh sih dari Bali ke
Jarakpun ditafsirkan sesuai dengan waktu. Pertanyaan soal jarak dijawab dengan pertanyaan soal waktu. Pada hal, kalau dalam masyarakat telah terbiasa menanyakan dan menjawab sesuatu secara pas dan konkrit, antara siapa saja akan sama. Kalau jarak antara Yogyakarta-Jakarta ditanyakan kepada siapapun, pasti kalau dijawab berdasarkan jarak. Semua orang akan menjawab sama kalau mereka sama-sama tahu jarak antara kedua
Dari contoh yang saya ambil itu, nampak jelas bahwa untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang konkrit, misalnya JARAK (yang secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempat atau benda yang diukur), bisa berbeda-beda tetapi KEBENARAN SEJATI tentang JARAK itu sendiri SECARA OBJEKTIF (ada, material, dan bisa diukur) tetaplah tidak relatif.
Kebenaran itu objektif, ada, riil, dapat diukur dengan cara yang benar, dan bukannya relatif.
Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih mementingkan kehendak subjektif dan individualistik, sebuah FALLACY, sesat filsafat yang berkembang dalam anggapan orang yang biasanya malas berpikir dan bekerja keras dalam menyelesaikan masalah.
Cara berpikir relatifistik ini benar-benar membodohi dan (kalau mau dirunut) selalu sesuai dengan kepentingan segelintir orang yang ingin hidup enaknya sendiri, karena hidupnya telah enak yang menyebabkan ia malas berpikir dan juga harus menutup-nutupi realitas kebenaran. Mereka, kalau bukan orang yang malas, juga orang yang tak jujur, dan menyembunyikan agenda tertentu untuk menyelamatkan kepentingannya sendiri dan menginjak-injak orang lain.
Bayangkan, jika di jaman yang konon sudah modern ini, masih ada orang yang beranggapan bahwa kemiskinan rakyat Indonesia disebabkan bukan oleh suatu hal yang bersifat material atau konkrit, misalnya karena adanya sejumlah perusahaan-perusahaan negara yang dijual kepada asing, berapa kekayaan alam yang dirampas penjajah, berapa jumlah subsidi rakyat yang dicabut, berapa uang yang tidak dialokasikan untuk pendidikan dan berapa uang yang banyak digunakan untuk teknologi militer serta uang yang dikorup, dan ukuran-ukuran atau tindakan kuantitatif (quantitative meassures) yang nyata.
Nyata, tindakan dan kebijakan nyata, bukan? Yang karenanya dapat dihitung, dipahami, dan dimengerti.
Tapi apa yang terjadi pada saat masyarakat kita menderita CACAT PENGETAHUAN (dan memang sengaja dibodohkan--terbukti akses terhadap pendidikan sekolah dan pendidikan demokrasi diingkari)?
Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan (kemiskinan dan dan penindasan) bukan karena sebab-sebab konkrit, tetapi karena sebab lain, takdir Tuhan dan sebab-sebab lainnya yang berada diluar dialektika material.***