Senin, 27 Agustus 2007

BELAJAR NASIONALISME DARI NAGABONAR

Oleh: Nurani Soyomukti


Film “Nagabonar (Jadi) 2” barangkali adalah satu-satunya film tahun ini yang mampu menyorot gagasan nasionalisme di era kini. Tokoh Bonaga (Tora Sudiro), anak Nagabonar (Dedi Mizwar), digambarkan sebagai pemuda yang mengalami hidupnya di masa pembangunan (modernisasi kapitalis), di mana pragmatisme pembangunan diindoktrinasikan melalui sekolah-sekolah di era Orde Baru. Bonaga yang mempunyai ijazah pendidikan hingga tingkat S-2, ditampilkan dalam film ini sebagai pemuda yang tidak kritis dan malah mendukung praktik ideologi yang kapitalis. Ijazah formal dan gelar itu menjadi lebih penting, daripada makna manusia terdidik itu sendiri.

Karenanya sosok Bonaga berbeda dengan karakter ayahnya Nagabonar. Yang menjadikan Nagabonar berbeda adalah, meskipun Nagabonar tidak pernah “makan sekolahan”, pergulatan kehidupan di masa pra-kemerdekaan dalam situasi kemiskinan merupakan situasi yang membentuk karakter dan jiwanya yang kuat. Bonaga, sebagaimana pemuda Indonesia yang mapan pada umumnya, mewakili karakterisasi generasi muda bangsa yang belum selesai, pemuda yang rapuh dan tak mampu menjadi satu kekuatan penyangga bangsa karena masih berorientasi pada pembangunan diri secara materi.

Dalam perspektif Nagabonar, pencarian pada suatu hal yang bersifat material telah membuat orang lupa pada makna dan hakekat kemerdekaan. Dalam suatu adegan yang sangat simbolis dan menggetarkan, Nagabonar menangisi patung Soedirman, sebagai sosok yang ia idealkan di masa hidupnya, tetapi kini patung itu harus dibuat menghormat pada kendaraan-kendaraan yang lewat di bawahnya, jalanan utama Jakarta, yang sibuk, dan menyiratkan ketidakpedulian.

Naga Bonar pun berbicara pada Pak Dirman: "Jenderaaaaaaal......siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu itu memakai roda empat, Jenderal? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati, Jenderal. Turunkan tanganmu! Jenderaaaallll.....turunkan tanganmu! Bukan kau yang harus menghormati mereka! Tapi bangsa ini yang harus menghormatimu!" Naga Bonar mengejek nasionalisme bangsa kita!”

Bagi kebanyakan kaum muda sekarang, nasionalisme sebagai perasaan berkebangsaan dan kecintaan tanah air terjadi di jaman dulu (jadul). Nasionalisme adalah milik sejarah masa lalu, sekarang nasionalisme telah mati karena globalisasi pasar telah meninabobokkan romantisme cengeng kaum muda. Kalau jaman dulu, kaum muda susah karena bangsanya diinjak-injak penjajahan, sekarang kaum muda susah karena tidak mendapatkan “gebetan” atau “putus cinta”.

Di era pasar bebas seperti sekarang ini, kebanyakan kaum muda adalah kalangan yang paling mengalami krisis nasionalisme. Jika kaum tua masih memiliki rasa nasionalisme yang kuat, karena sebagian besar dari mereka lahir dalam sejarah di mana pasar belum diberi kewenangan yang kelewat luar biasa seperti sekarang ini. Meskipun terbentuk oleh mental yang dilahirkan pada masa Orde Baru kebanyakan dari generasi itu masih merasakan bagaimana negara masih memiliki kekuatan untuk mengatur masyarakat.

Butuh Habitus Baru

Kebuntuan peran politik kaum muda di era sekarang ini nampaknya membutuhkan terobosan di tingkatan ideologis dan kultur di kalangan kaum muda. Perlu dikembangkan habitus baru di kalangan kaum muda untuk membuat posisi dan perannya signifikan dalam masyarakat sekarang ini. Menurut Pierre Bordieu (1994: 9), habitus merupakan hasil dari ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari, etos misalnya), lalu diterjemahkan menjadi kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus juga berfungsi sebagai prinsip penggerak dan mengatur praktek-praktek hidup dan merepresentasi masyarakat.

Nilai-nilai perubahan yang didasarkan pada daya tafsir kaum muda terhadap realitas harus melahirkan kesadaran dan praksis, mendatangkan habitus baru yang benar-benar bisa diarahkan pada tumbuhnya solidaritas, pentingnya tindakan kolektif, pewujudan kesejahteraan bersama, dan kepekaan akan keadilan. Perubahan habitus lama menjadi yang baru mengandaikan perubahan budaya secara mendasar. Perubahan itu menyentuh juga modalitas dalam interaksi sosial yang dominan, yaitu kerangka penafsiran, fasilitas (modalitas interaksi kekuasaan), dan norma (Giddens, 1993: 129). Mengapa kerangka penafsiran harus berubah? Karena habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami atau menilai realitas. Ia sekaligus menghasilkan praktek-praktek sosial. Maka, ia menjadi dasar kepribadian seseorang yang pembentukannya sulit ditentukan ujung-pangkalnya.

Di satu sisi, terbentuknya sangat memperhitungkan hasil dan keteraturan perilaku; di sisi lain, prakteknya mengandalkan pada improvisasi, bukan hanya pada kepatuhan terhadap aturan-aturan. Improvisasi mengandaikan kelenturan penafsiran. Kelenturan penafsiran menentukan kualitas pemaknaan. Pertaruhan dalam pemaknaan ialah gaya hidup (keseluruhan selera, kepercayaan, praktik sistematik, opini politik, dan keyakinan moral).

Kemunduran peran kaum muda bisa kita rasakan di lingkungan kampus. Seiring dengan proses privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan tinggi, budaya mahasiswa tanpa terasa telah jauh sekali meninggalkan hakekatnya sebagai kalangan intelektual dan akademis. Berdasar desainer para penumpuk modal, terutama yang berlevel internasional, diharapkan kampus tidak menjadi penghalang bagi usahanya dalam mengakumulasi kapital. Bahkan generasi muda dan mahasiswa dicetak untuk meraih profesi-profesi yang kelak akan mengabdikan diri bagi para penumpuk modal. Peran negara diharapkan juga sesuai dengan kepentingan mereka.***

Tidak ada komentar: